Kamis, 09 Oktober 2008

MERDEKA ATAU TIDAK SAMA SEKALI

Begitu indah kata-kata "pendidikan", "mendidik", "terdidik", "pendidik", dan seterusnya. Masalahnya, apakah seindah yang kita angankan "pendidikan" itu? Banyak orang gelisah karena tidak bisa mengenyam pendidikan, namun banyak juga orang yang resah karena berada dalam lingkup "pendidikan".
Banyak orang yang setengah hati memaknai pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan dijadikan alat untuk mencapai tujuan kehidupannya. Mestinya, pendidikan itu bagian dari kehidupannya. Apa pun tujuan hidupnya, pendidikan senantiasa menyertainya.
Kalau sudah demikian, pendidikan adalah kebutuhan hidup, bukan kewajiban dalam hidup. Maka kemerdekaan berawal dari sini. Seseorang bisa merasakan kemerdekaan apabila dalam menjalankan tugas kehidupannya didasari kebutuhan. Dia butuh, maka dia melakukan untuk mencapai yang dibutuhkan itu.
Bagaimana dengan yang berada di sekolah? Banyak siswa saya yang bertanya, "Pak, bagaimana mengatasi kemalasan dalam belajar?" Bagi saya, kemalasan itu bukan monopoli kegiatan belajar. Semua aktivitas kehidupan pasti ada yang namanya virus "malas". Mengapa orang bisa menjadi malas belajar? Mengapa siswa lebih suka pulang pagi atau pulang lebih awal? Semua itu terjadi karena mereka tidak merasakan "kemerdekaan" dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Celakanya lagi, para guru pun dihinggapi virus "malas" ini. Mereka setali tiga uang dengan sikap murid-muridnya apabila mereka mendapatkan kesempatan pulang lebih awal. Seperti halnya, murid-murid, mereka senang bisa pulang pagi. (Maaf, instansi lain juga tidak beda).
Nah, semuanya tidak lain karena mereka tidak atau belum merasa "merdeka". Bagaimana menciptakan "kemerdekaan ini? Dalam kesempatan ini saya menyarankan beberapa hal:
1. Guru jangan diberi beban yang berat untuk melaksanakan tugasnya, misalnya mengajar 24 jam per minggu (Meskipun peraturan untuk itu sudah ada). Tugas guru bukan hanya tatap muka di kelas. Mereka harus punya cukup waktu untuk merencanakan program-program pembelajaran yang menyenangkan. Mereka juga harus mengadakan evaluasi dan revisi tugas-tugasnya. Jika guru sudah merasa terbebani dalam menjalankan tugasnya, maka murid pun akan terkena imbasnya. Guru merasa tidak merdeka, maka ketika mengajar pun guru tidak bisa memberikan kemerdekaan itu pada murid-muridnya. Jika nanti di akhirat ada permintaan pertanggungjawaban mengenai hal ini, maka yang membuat kibijakanlah yang paling bertanggung jawab di hadapan Allah. Saya yakin pertanggungjawaban itu akan dipikulnya di dunia ini, lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
2. Ketika melaksanakan tugas mengajar, hendaknya guru mempunyai keyakinan bahwa tugas ini adalah bagian dari amal ibadahnya. Berapa pun gaji yang mereka terima, imbalan dari Allah jauh lebih besar dari semuanya. Niatkan dalam mengajar bahwa guru akan mengadakan perubahan ke arah kebaikan. Perubahan tingkah laku murid-muridnya, perubahan cara berpikir murid-muridnya, perubahan cara menghadapi problem kehidupan, dan perubahan lain yang bermuara keridaan Allah semata.
3. Karena belajar adalah bagian dari perjalanan hidup, maka tidak kata lain kecuali belajar adalah berjuang di jalan Allah. Belajar merupakan perintah Allah. Dengan penuh kesadaran kita laksanakan perintah Allah. Selebihnya kita serahkan kepada-Nya. Kalau dalam belajar sudah dipenuhi dengan tekad melaksanakan perintah Allah, Insya Allah yang namanya malas akan lari menjauhi kita.
4. Yang tak kalah pentingnya, jangan coba-coba menghambat karier dan prestasi guru. Siapa pun orangnya, apa pun lembaganya. Kalau guru sudah merasa teraniaya dalam menjalankan tugas-tugasnya, tunggu saja hancurnya masyarakat.
Apakah begitu hebatnya akibat ini? Kita tidak perlu membuktikannya. Kita hormati profesi guru, kita jaga kredibilatas guru, kita ajak anak-anak kita menikmati masa-masa mudanya dengan berkarya dan menanam kebaikan. Tidak ada salahnya saya kutipkan sebuah kalimat bijak dari Korea, "Jangan injak bayang-bayang guru".
Merdeka atau tidak sama sekali!!!